Hapuskan Hadiah dari Perayaan Natal

Pagi-pagi benar dalam benak sudah terdengar nyanyian-nyanyian yang berkaitan dengan penyambutan kelahiran Sang Juruselamat, lagu-lagu terngiang di telinga dan juga seantero isi kepala, liriknya Pujilah Dia Sembah Dia, karena Dia Juruselamat Umat Manusia ~ begitu terus yang berulang-ulang seperti pita kaset lama atau piringan CD yang tergerus dan hanya merepetisi kalimat tertentu, atau mungkin pemutar MP3-nya yang sudah aus head-nya sudah tidak memiliki potensi dekoding yang masih handal.

Ada pesan-pesan pendek dalam memori yang tersimpan secara berjangka di kurun waktu yang lama, mungkin bekerjanya adrenalinku akibat senyawa hormonal tertentu setelah menghabiskan segelas tapai ketan manis (yang pasti uenak)!

Lagu-lagu berdentang, tema-tema jualan di pusat belanja pun mengiringi datangnya Natal. Dominasi warna merah, putih, biru, kuning, hijau, ungu antara fiksi dan realita berpadu ~ kebiasaan barat dicampur-campur secara etnika tradisional secara tidak langsung menunjukkan inilah adab desember. Bos-bos toko swalayan mewajibkan pegawai-pegawainya berkostum sinterklas, kostum yang kebarat-baratan untuk menarik pembeli. Hal tidak bisa dibenarkan, karena tidak semua pegawai bisa menerima aturan tersebut karena terkait dengan kepercayaan yang dianutnya. Berikan keleluasaan untuk mereka tidak perlu menggunakan kostum yang berlawanan dengan akidah mereka!

Tidak ada juga yang memaksa wanita non-muslim menggunakan hijab, bukan? Mengapa harus memaksa pegawai-pegawai toko swalayan, mall, menggunakan kostum yang tidak sesuai dengan kepercayaan mereka? 

Natal – perayaan Natal sudah berubah menjadi Pesta.

Penyelenggaraan berulang-ulang di berbagai tempat dari awal desember hingga januari oleh beragam kalangan dan elemen masyarakat.
Natal berdatangan , (katanya) membawa kegembiraan sukacita riang ria cenderung mengarah pada pesta pora, ditambah dengan berbagi berkat dan hadiah melalui doorprize yang diundi (seperti judi, di dalamnya ada harapan pula ada kecemasan, ada peluang, ada permutasi, ada kemungkinan-kemungkinan~ kemungkinan mendapatkan hadiah/ menang atau kemungkinan tidak dapat/ kalah) dan hadiah-hadiah ini yang memalingkan hati umat yang hadir dan datang dari arti peristiwa yang tengah terjadi sekarang. Jika ini dikatakan adalah godaan, maka kita sendiri sudah menciptakan dosa dan pertentangan di dalam rumah Tuhan sendiri. Kita sudah menciptakan perpecahan dalam persekutuan orang-orang yang mengaku beriman!

Karena apa, bagi yang tidak dapat undian akan pulang dengan hati yang kecewa, kesal, sedih, jengkel, dipermainkan, malu, dan demi harga diri rasa ini tidak dimunculkan karena tengsin. Ah, doorprize dan hadiah-hadiah yang menyesatkan! Menciptakan rasa permusuhan dan rasa ketidaksukaan, di mana ceria dan damai sejahtera yang digembar-gemborkan gembala sidang, jika pulang saja bukan bahagia didapat tapi mudharat!

Orang datang dan hadir berniat hanya demi hadiah, bukan demi kebahagian akan penyelamatan. Ada alasan klasik bahwa tanpa hadiah, maka perayaan Natal sepi pengunjung, sepi jemaat, sepi umat. Memangnya perayaan Natal itu konser? Memangnya Natal itu penampilan artis-artis hebat saja? Memangnya Natal itu harus mendapat pengunjung yang membludak? Mengapa tidak sekalian diubah bahwa Natal adalah Expo, Pameran, tempat jualan, tempat beradu gaya, tempat keramaian sekalian. Kalo mau ramai dikunjungi jangan setengah-setengah, sekalian pesta sehari semalam, musik-musik keras terus-menerus sampai dinihari ! Hayoo …. Apa begitu?

Pemerintah Jokowi-JK sudah menekankan upaya penghematan, undangan perkawinan yang diselenggarakan Pejabat Pemerintahan saja dikurangi hanya 400 undangan, hadiah-hadiah yang diterima harus dilaporkan ke KPK untuk diperiksa ini bisa diterima atau dianggap sebagai gratifikasi (pemberian hadiah terkait dengan jabatan pengundang yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara). Sikap-sikap merakyat dari Pejabat-Pejabat harus menjadi contoh kepada rakyat-rakyat kebanyakan. Makanan rapat hanya singkong dan pisang, bukan lagi hidangan berkelas dan kebarat-baratan.

Mungkin rakyat sudah terbiasa dengan hidup mewah dan keadaan kehidupan yang serba materialis kebendaan, makanya anjuran Pemerintahan ini sulit digubris (padahal sebenarnya menyukakan hati bagi penyelenggara yang irit dana dan sdikit donasi) dengan alasan sudah terlanjur direalisasikan tak bisa ditunda. Alasan lain, ditakutkan pesta atau kegiatan perayaan akan sepi undangan, sepi tamu, kurang meriah. Sesuatu kebiasaan lama sulit diubah karena penyelenggara atau panitia tidak bisa menerima konflik dan cemooh dari jemaat atau massa. Cemooh yang jelas selalu datang dari penyesat.

Apakah aku penyesat? Bukan, Aku adalah orang yang menyerukan agar perayaan Natal bukan pesatnya pesta pora, ajang pamer-pameran, pamer baju baru, pamer rantai dan gelang emas, pamer perhiasan indah, pamer aksesoris mahal, pamer hadiah-hadiah prestise. Karena apa? Itu semua ngawur, itu semua hanya sesaat, harta duniam harta yang tidak bisa dipertahankan, harta yang tidak abadi, hadiah yang membawa euforia, kebahagiaan semu.  Semestinya yang bertahta dalam hati selama Natal ini berada adalah hati dan perasaan gembira karena bersama-sama dalam kerelaan dalam kesederhanaan, dalam keselamatan di masa yang akan datang, bukan doorprize. Bukan hadiah undian harapan ( harap cemas), hadiah-hadiah benda yang tidak bertahan lama!

Masih banyak rekan-rekan yang tidak mampu, yang menderita kemalangan seperti di Panti Asuhan, di Panti Jompo, anak-anak terlantar, orang-orang terpenjara, orang-orang terhukum. Ke sanalah hadiah dan arti gembira disalurkan, bukan kepada kaum sendiri. Ke sanalah kita berbagi, memberi, menyalurkan berkat, menyalurkan bantuan, menyalurkan doorprize itu! Apakah mereka bohong atau menipu, kita bisa memeriksanya, kita bisa menelitinya, kita bisa menilainya. Ada lembaga resmi yang menjamin kebenaran perihal mereka, untuk apa kita ragu? Salurkan hadiah dan doorprize itu ke sana ! Hadiah yang paling besar adalah penghiburan dan kedatangan rekan-rekan sekerja dan sahabat serta orang yang berempati. Sumbangan dari pengunjung yang besarannya bergantung kemampuan, itulah hadiah yang terindah di setiap Natal tiba!

Biar mereka yang berkekurangan menjadi kenyang, jika ini nanti memberi harapan-harapan palsu anak-anak dan orang-orang panti, itupun terjadi hanya setahun sekali. Dan pernyataan itupun masih harus dikaji lagi secara bertahun-tahun, Kapan lagi kita membahagiakan orang lain, terutama orang yang berkekurangan dan berbeban berat? Jangan remehkan anak-anak panti, orang-orang terpenjara, orang-orang terhukum, karena mereka suatu saat akan menjadi dewasa, menjadi bebas, menjadi besar atau malah menjadi orang yang berkuasa atas kita sekalian!